Sunday, March 27, 2016

Kisah adik kakak yg mengharukan

Kisah kakak dan adik yg mengharukan..

Aku terlahir di dusun pegunungan yang jauh dari Kota. Hawa di sini begitu dingin, jika hari berganti malam rasa dingin itu seperti menusuk tulang kecilku. Aku memiliki seorang Adik laki–laki yang berumur lebih muda 3 tahun dariku. Sepeninggal orangtua kami, kami ikut dengan Paman dan Bibi yang bertahun–tahun tidak memiliki buah hati. Paman bekerja di kebun teh milik juragan Herman dan Bibi hanya pembantu rumahan. Gaji mereka tidak seberapa, yang terpenting kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Aku terdidik oleh Paman dengan cara yang keras. Jika kami bermalas–malasan, Paman tak segan untuk memukuli kami. Walaupun begitu, aku tahu Paman menginginkan kami menjadi orang yang sukses kelak.

Siang itu, cuaca tidak mendukung. Hujan deras disertai petir tak berhenti. Aku duduk terpaku di teras rumah. Beberapa anak kecil sebaya denganku memakai jaket melewati rumahku dengan payung di atasnya. Terbersit keinginan untuk memiliki jaket seperti yang dikenakan anak tersebut. Aku mencuri uang 75.000 rupiah milik Paman, dan berniat setelah hujan terang aku akan membelinya di pasar.
“Itu apa kak?” Tanya Adikku setelah aku sampai di rumah menenteng tas plastik pembumgkus jaket yang ku beli.
“Husst diam, ini namanya jaket. Lihat deh…” aku membuka tas plastik dan memakai jaket itu.

“Dari mana Kakak dapat uang untuk membeli jaket sebagus itu?” Tanya Adikku penasaran.
“Bagas, Kakak mencuri uang Paman.” Jawabku terus terang sambil memandangi cermin untuk berkaca.
“Apa? Paman kan galak, nanti Kakak dimarahin.” Adikku terduduk lesu sambil memandangiku yang masih mengenakan jaket.
“Tapikan Kakak pengen jaket ini, kalau kamu tidak bilang Paman semuanya akan baik–baik saja!” Jawabku setengah membentak.
“Baiklah kak, aku akan tutup mulut.” Ujar Adikku sembari menuntup menutup mulutnya pakai tangan.

Hari berubah menjadi Pagi. Paman memanggil aku dan Adikku menghadapnya di ruang tengah. Paman menyuruh kami berlutut menghadap tembok, dengan membawa ikat pinggang di tangannya.
“Siapa yang mencuri uangku? Dera! Bagas! Jawab pertanyaan Paman!” Bentak Pamanku, membuat aku dan Adikku menangis tersedu. Tidak ada jawaban di antara kami, aku terlalu takut untuk menjawab jujur.
“Baiklah kalau kalian tidak mau mengakui, kalian layak dipukul..” Paman mengangkat ikat pinggang itu, namun dicegah Adikku.

“Jangan pukuli kak Dera Paman! Aku mencuri uang itu untuk membelikan kak Dera jaket..” Aku terbelalak memandangi Adikku. Aku menggelengkan kepala tak percaya dia melindungiku.
“Kurang ajar! Apa kamu mau kita kelaparan demi sebuah jaket itu!” Ikat pinggang itu menghantam punggung kecilnya bertubi–tubi. Paman sangat marah hingga ia mencambuki Adikku hampir 10 menit lamanya.

Aku berlutut di hadapan Paman hendak mencium kakinya. “Cukup Paman, jangan lakukan lagi! Bagas masih kecil, tak pantas merasakan sakit ini…” Pintaku meraung raung, aku melihat Adikku, Adikku tetap tegar. Bahkan, aku tak menemukan setetes air mata membasahi pipinya.
“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, besok kalau udah besar mau jadi apa kamu? Pencopet hah? Paman mendidik kamu untuk menjadi penjabat bukan penjahat!”

Malamnya, aku dan Bibi memeluk Adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan goresan bekas cambukan, namun ia tidak bersedih. Aku tak hentinya menangis menatapnya dengan pilu, sungguh pengorbanan yang luar biasa. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya. “Kakak jangan menangis, semua sudah terjadi.” sudut–sudut bibirnya menyungging membentuk sebuah senyuman yang indah. Aku membenci diriku sendiri karena tidak berani mengakui bahwa aku yang salah bukan Bagas. Bertahun–tahun telah berlalu, namun insiden itu masih aku ingat ketika Adikku melindungi aku. Saat itu aku berumur 11 tahun dan Adikku berumur 8 tahun.

Adikku telah lulus di jenjang SMP dan akan meneruskan SMA di Desa sebelah. Pada saat yang sama aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri di Kota. Paman duduk di teras rumah sambil menghisap rok*knya. Aku mendengar beliau menggerutu dengan Bibiku di sampingnya.
“Kedua keponakan kita, Lulus dengan nilai yang terbaik..” Bibiku mengusap air matanya yang mengalir sambil menghela napas.
“Bagaimana mungkin bu? kita dapat membiayai keduanya sekaligus?” Pamanku mendesah. “Kalau mungkin kita dapat membiayai, hanya salah satu dari mereka saja yang dapat meneruskan. Dera atau Bagas?” tambah Paman.

Saat itu juga, Adikku menghadap Pamanku. “Paman, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Sudah cukup aku membaca buku milik kak Dera.”
Paman mengayunkan tangannya dan menampar wajah Adikku. “Mengapa kamu memiliki jiwa yang pecundang? Bahkan jika Paman terpaksa harus mengemis, Paman akan lakukan, untuk menjadikan kalian sukses. Pendidikan itu sangat penting!” Pamanku berlaku sambil menginjak putung rok*knya.
Aku memegang wajah Adikku yang membiru, bekas tamparan Paman. “Kamu harus meneruskan sekolah. Kamu harus jadi Arsitek, itu kan cita–citamu.” Adikku tersenyum memandangiku.

Keesokan harinya, Adikku tak ada di rumah. Ia kabur dengan beberapa pakaian. Aku menemukan secarik kertas di bawah bantalku.
“Kak Dera. Kakak tersayang. Kak, aku anak laki–laki. Aku akan bekerja mencari uang demi Kakak. Kakak harus nerusin ke Universitas itu. Kesempatan tidak datang 2 kali. Jangan cari aku, aku baik–baik saja. Kak.
Adikmu.”
Di kamar ini aku menangis memeluk secarik kertas dari Adikku. Aku begitu menyayanginya, sangat menyayanginya. Dengan uang yang Paman punya, dan kerja keras Adikku mengangkut semen di konstruksi pembangunan suatu gedung. Akhirnya aku telah mencapai semester ketujuh. Yang sebentar lagi aku akan diwisuda.

Suatu hari, aku tiduran di kostanku. Meemandangi foto aku dan Adikku saat kami masih kecil. Tiba–tiba, Reina teman kostanku memanggilku karena ada seseorang mencariku. Aku berjalan ke luar, memandangi punggung seseorang yang mencariku. Pakaiannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Dia membalik, aku terperangah karena orang tersebut adalah Adikku, Bagas.
“Bagas?” Aku berlari menangis memeluknya.
“Iya Kak?” Tangisanku tersedu mendengar suaranya. Yang lama tak terdengar di telinga ini.
“Kenapa kamu tidak bilang pada temanku kalau kamu adalah Adikku?” Tanyaku menggerutu. Dia tersenyum.
“Lihatlah penampilan aku, apa Kakak nggak malu jika mereka mengejek kalau aku adalah Adikmu?” Aku terenyuh, ku usap pakaian Adikku yang kotor itu.
“Kamu adalah Adikku, aku nggak mau menjadi Kakak yang durhaka. Biarlah mereka berkata apa, kau tetap Adikku, Bagas…” jawabku mengusap air mata yang menetes.

Adikku mengeluarkan sebuah tas plastik dari ranselnya. Memberikanku tas tersebut.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Baju, yang nggak mahal tapi cocok untuk Kakak kenakan untuk kuliah.”
“Makasih Bagas.” Setelah itu ia pamit untuk pulang ke rumah. Ku lihat punggungnya dari kejauhan. Aku berlari mengejar Adikku. Menariknya, dan menangis di pelukannya.

Setelah aku di wisuda, aku dilamar seorang pria yang mapan. Umurnya 2 tahun lebih tua dariku. Hari ini, kali pertamanya aku mengajaknya ke rumah. Kaca jendela yang terlah pecah diganti dengan yang baru, semua perkakas ditata dengan rapi. Setelah calonku pulang, aku menanyakan pada Bibi.
“Bibi, bibi nggak perlu repot-repot membersihkan rumah. Biarkan Dera yang membersihkan.”
“Dera, Adikmulah yang mebereskan rumah ini. Dia mengambil cuti karena ingin seharian merenovasi rumah ini.” jelasnya membuatku gugup. “Tangannya terluka ketika mengganti jendela.” tambah bibiku lagi.

Aku masuk ke kamar Adikku. Tubuhnya kurus tak terawat. Serasa beratus jarum menusukku. Ku kompres tangan Adikku dengan es batu untuk mengurangi rasa sakitnya.
“Sakitkah?” tanyaku.
“Tidak, Kakak tahu saat aku di kontruksi, kakiku kejatuhan semen dan batu–batu. Rasanya tidak sakit.” Aku menahan air mata untuk tidak menangis.
“Cukuplah kau berkorban demi aku.” aku berlalu meninggalkannya.

Ketika aku menikah, aku tinggal di Kota bersama suamiku. Aku terpaksa meninggalkan Paman, Bibi dan Bagas. Sesekali ku meminta mereka berkunjung ke rumah kami untuk melepas rindu. Suamiku bekerja menjadi direktur di pabriknya, Dia meminta Adikku menjadi manager, namun Adikku menolak karena ia tidak bisa melakukan apa–apa, karena ia memang tidak berpendidikan. Aku terus memaksa namun ia tetap menolak dengan berbagai alasan. Suatu hari, ada kecelakaan kerja di lokasi konstruksi dimana Adikku bekerja. Yang salah satu korbannya adalah Adikku sendiri. Aku melihat gips putih membungkus kaki Adikku.

“Seharusnya kamu menerima tawaran suamiku, menjadi manager tidaklah melakukan hal yang berat? Kalau saja kamu menerima, kamu nggak akan seperti ini.” gerutuku.
“Kakak iparku baru saja menjadi direktur, kalau saja aku menjadi manager yang hampir tidak berpendidikan, gosip apa yang akan terdengar di penjuru pabrik?” Dengan tampang yang serius, Adikku tetap membela.
“Kamu tidak berpendidikan karena aku!” bentakku, suamiku yang berada di sampingku menenangkan aku.
“Jangan ungkit masa lalu, aku melakukannya dengan ikhlas tanpa pamrih.” Aku menangis, mata suamiku berkaca–kaca.

Ketika Adikku berumur 30, ia menikah dengan gadis desa. Saat itu aku sudah memiliki seorang buah hati yang lucu, Keyna. Acara pernikahan Adikku tidak semeriah pernikahanku, namun dia terlihat bahagia menyalami penduduk dusun. Pembawa acara menanyakan kepada Adikku.
“Siapa orang paling terpenting di hidupmu?” tanya pembawa acara.
“Kakakku, kak Dera..” Jawab Adikku singkat. Ia menceritakan kisah waktu aku kita masih duduk di bangku SD dimana kisahnya sudah aku lupakan.
“Waktu itu, saat hujan turun aku lupa membawa mantel. Padahal jarak rumah kami sangat jauh dari rumah kami. Kakakku dengan senang hati memberikan mantelnya. Aku nggak bisa berbuat apa. Setelah pulang ke rumah. Tubuh Kakakku basah kuyup. Badannya demam tinggi hingga berhari–hari. Setelah kejadian itu, aku berjanji dalam hidupku untuk selalu menjaga Kakak..”

Tepuk tangan tamu membanjiri ruangan itu, aku menangis tersedu memandangi Adikku.
“Dan yang paling berharga adalah Adikku, dia rela berkorban demi aku. Sesungguhnya ketika aku mencuri uang Paman, Adikkulah yang mengaku bahwa dia yang mencuri. Pamanku mengajarinya untuk menjadi penjabat bukan penjahat. Paman mencambuk punggung Adikku agar tidak mengulanginya lagi. Hingga punggung Adikku penuh dengan luka. Aku sangat menyayangimu, Adikku…” seketika itu aku berlari memeluk Adikku..........

Saturday, March 26, 2016

kehidupan: I wish

kehidupan: I wish: I wish.... Ini adalah sebuah kisah yang dialami oleh seorang perawat. Perawat ini sudah bekerja bertahun-tahun di perawatan paliatif (peraw...

I wish

I wish....

Ini adalah sebuah kisah yang dialami oleh seorang perawat. Perawat ini sudah bekerja bertahun-tahun di perawatan paliatif (perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi).

Seperti yang dilansir oleh web... banyak sekali pengalaman yang dialami oleh perawat ini. Salah satunya adalah berhadapan dengan pasien-pasien yang sudah bersiap menjemput ajal.

Perawat ini pun pernah menanyakan apa saja yang disesali oleh para pasien yang rupanya sudah berada di ujung hayat mereka. Dan ini dia lima jawaban paling umum yang diberikan oleh pasien-pasiennya sebelum akhirnya ajal datang menjemput.

1. I wish I’d had the courage to live a life true to myself, not the life others expected of me.

Ini adalah rasa penyesalan paling umum yang dirasakan oleh para pasien. Saat tahu bahwa ajal akan datang menjemput, kebanyakan manusia akan menyesal kenapa dulu tidak melakukan hal-hal disukai, tidak mewujudkan impian-impian besar yang dimiliki. Ketika sudah jatuh sakit dan tahu bahwa ajal akan segera datang, rasa sesal kenapa dulu tidak berani untuk memperjuangkan hal yang diinginkan seringkali menghantui.
2. I wish I didn’t work so hard.

Penyesalan ini datang dari setiap pasien pria yang ditemui perawat tersebut. Banyak orang yang merasa bahwa merasa sangat menyesal karena terlalu gila kerja sampai lupa akan pentingnya mengasuh anak, mengontrol tumbuh kembang anak, dan juga menghabiskan waktu dengan keluarga.
3. I wish I’d had the courage to express my feelings.

Banyak orang yang memendam dan menyembunyikan perasan agar tidak berkonflik dengan orang lain. Akibatnya mereka jadi merasa tidak bisa menjadi diri sendiri. Apalagi banyak sekali penyakit yang diakibatkan oleh eksrepsi atau emosi yang terus dipendam dan disembunyikan selama bertahun-tahun. Ada saatnya kita untuk jujur pada orang lain dan juga pada diri sendiri dalam mengungkapkan apa yang sebenarnya kita rasakan.
4. I wish I had stayed in touch with my friends.

Banyak orang yang merindukan sahabat-sahabatnya saat berada di ambang kematian. Rasa rindu akan kasih sayang dan cinta dari orang-orang terdekat bisa semakin menyiksa orang yang tahu bahwa dirinya tak akan bertahan hidup lama di dunia. Rasa sesal karena dulu tidak menjaga ikatan persahabatan dengan baik ini dirasakan oleh banyak sekali pasien.
5. I wish that I had let myself be happier.

Pernyataan ini termasuk yang paling mengejutkan. Rupanya banyak orang yang baru menyadari hal ini ketika mereka sudah tak berdaya dan menanti ajal menjemput. Terjebak dalam rutinitas dan hidup yang itu-itu saja telah membuat banyak orang tidak bisa merasa bahagia dan pada akhirnya menciptakan rasa sesal.
Hidup ini sebenarnya adalah pilihan. Setiap orang punya hidupnya sendiri-sendiri. Jadi kita perlu memilih secara sadar, jujur dan bijak. Yang terpenting pilihlah KEBAHAGIAAN dalam kehidupanmu. Penyesalan selalu datang di akhir, kalau di awal itu namanya pendaftaran! Hehehe…demikian salah satu joke yang pernah saya dengar.

Tuesday, March 22, 2016

Sesuatu yg berharga

Seorang pemuda membawa ayahnya yang telah tua dan agak pikun ke sebuah restoran terbaik di kotanya. Ketika makan, tangan sang ayah gemetar sehingga banyak makanan tumpah dan tercecer mengotori meja, lantai, dan bajunya sendiri. Beberapa pengunjung restoran, melirik situasi tersebut.

Namun pemuda itu terlihat begitu tenang. Ia membantu dengan sabar dan menanti sang ayah selesai makan. Setelah selesai, ia membawa sang ayah ke kamar mandi, untuk dibersihkan tubuh dan pakaiannya dari kotoran. Setelah itu, ia mendudukkan ayahnya kembali di kursi, dan dengan tenang ia pun membersihkan makanan yang tercecer di sekitar meja tempat ayahnya makan, Kemudian, ia membayar tagihan makan malam pada kasir restoran itu, menghampiri ayahnya, dan menuntunnya keluar.

Pemilik restoran yang sedari tadi mencermati perilaku pelanggannya ini, bergegas keluar menyusul si pemuda yang sedang menuntun ayahnya itu. Setelah berhasil menyusul, ia berkata, “Terima kasih, Anda telah meninggalkan sesuatu yang berharga di restoranku.”

Pemuda itu balik bertanya, “Memangnya barang berharga apa yang aku tinggalkan…?”

Sambil menepuk pundak si pemuda, pemilik restoran berkata, “Engkau telah meninggalkan pembelajaran yang mahal pada kami semua, tentang luhurnya nilai berbakti kepada orang tua.”

“Bakti” bagi setiap orang terhadap orangtuanya, tentu tidak sama satu sama lain, karena situasi yang berbeda-beda. Tapi yang pasti: bakti adalah hal yang tidak bisa kita abaikan. Seburuk apa pun rupa maupun kondisi orangtua kita, mereka tetap layak dan harus dihormati.


Sedih dan mengharukan

Hingga nafas ini habis...

“Kita pernah coba hempas, kita pernah coba lawan, kita pernah coba melupakan rasa yang menghadang. Kau bilang perbedaan ini bagaikan jurang pemisah maka biarkan aku menyeberang dan coba berjuang. Tetaplah di sini, jangan pernah pergi meski hidup berat kau memilikiku. Ketika kau sakit ketika hatimu terlukaku kan menjagamu hingga napas ini habis.”

Lagu dari Fiersa Besari ini berhasil menjatuhkan air mata Freya yang saat itu baru berpisah dengan kekasihnya.

Lagu ini adalah lagu favorit Freya sebelum tidur. Lagu ini pula yang menjadi lagu favorit Andre saat masih berpacaran dengan Freya. 2 tahun sudah Andre dan Freya berpacaran. Namun hari ini Freya harus melepaskan dia pergi. Andre adalah lelaki sempurna baginya. Dia baik, perhatian dan sudah pasti menyayanginya. Freya tak menduga bahwa pertemuan mereka di taman itu akan jadi pertemuan terakhirnya dengan Andre.

Air mata Freya kini mengalir deras saat dia melihat boneka doraemon yang diberikan Andre pada anniversarry mereka yang kesatu tahun. Gadis berusia 17 tahun ini baru pertama kali pacaran dan baru pertama kali patah hati. Andre adalah cinta pertamanya saat ia baru masuk SMK. Mereka tinggal di jurusan dan kelas yang sama selama 3 tahun berturut-turut. Satu kata yang tak bisa Freya lupakan dari Andre adalah, “Aku bakalan jaga hubungan kita sampai kita tua nanti Frey. Aku janji.” Andre adalah lelaki pertama yang bisa menyentuh hatinya.

“Frey, kamu kenapa?” tanya seorang laki-laki yang sedang menemaninya di kantin itu.
“Aku nggak apa-apa Ndre,”
“Kok muka kamu pucet. Mata kamu juga sembab. Kamu sakit? Atau abis nangis?”
“Aku nggak apa-apa kok sayang,” Freya tersenyum sambil memegangi tangan Andra.
“Frey kamu sayang nggak sama aku?” entah mengapa pertanyaan Andra itu justru membuatnya bingung.

“Andra suka sama kamu Frey.”
“Apa? Andra suka sama aku? Tapi Ndra aku..” ucapan Freya terpotong.
“Aku tahu, ini juga berat buat aku. Demi Tuhan aku sayang sama kamu Frey tapi Andra itu saudara kembar aku dan aku gak bisa nyakitin dia,” Andre menatap Freya dengan serius.
“Ndre..” air mata Freya kini tak tertahan lagi.

“Aku tahu, aku adalah adiknya Andra dan harusnya dia yang mengalah. Tapi Frey, Andra itu selalu berkorban buat aku dari aku kecil. Aku mohon sama kamu, demi hubungan kita kamu mau kan terima Andra?” Freya hanya bisa menangis saat mendengar perkataan dari Andre. Hatinya sakit seakan ditusuk duri.
“Frey, aku nggak ada pilihan lain. Semenjak kematian gita 3 tahun lalu, Andra gak pernah seceria ini Frey. Aku gak bisa ngancurin hati dia kalau dia tahu kamu itu pacar aku,” kini air mata Andre ikut menetes di pipinya, “Please Frey, lakuin ini demi aku. Aku gak punya pilihan lain selain ini aku mohon.”

Freya menatap Andre dengan penuh harap agar Andre tidak meminta Freya untuk mencintai kakak kembarnya.
“Iya Ndre. Aku akan coba mencintai Andra seperti aku mencintai kamu,” akhirnya Freya mengabulkan keinginan Andre walau itu harus mengorbankan hati dan perasaan dia sendiri.
“Makasih banyak ya Frey, makasih,” Andre mengusap air mata Freya dan memeluknya erat. Jujur saja Andre tidak bisa merelakan Freya. Namun demi kebahagiaan kakaknya, Andre harus rela melepas wanita yang dia anggap cantik setelah almarhumah ibunya.

“Frey? Kok nangis?” Andra menyentuh pipi Freya yang kini berlinang air mata. Seketika itu Freya sadar dari lamunannya dan langsung menghapus air matanya.
“Aku nggak apa-apa kok,” Freya memperlihatkan senyum kepada Andra untuk menenangkan hati Andra.
“Kamu belum jawab pertanyaan aku loh Frey,” ucap Andra pelan.
“Iya Ndra aku sayang sama kamu kok,”
“Aku sayang kamu Frey. Jangan tinggalin aku yah cantik.” Andra mengelus rambut panjang Freya dengan lembut. Freya hanya tersenyum getir.

Andra dan Andre terpisah sejak mereka kecil. Andre tinggal di bandung bersama papanya sedangkan Andra tinggal di surabaya bersama almarhum mamanya. Setelah sang mama meninggal, barulah Andra pindah ke bandung dan kini satu rumah dengan Andre. Orangtua mereka sudah bercerai sekitar 13 tahun lalu dan mereka tidak pernah mempunyai ibu atau ayah tiri.

Dengan panik Freya berlari menuju lapangan basket. Entah apa yang ia cari saat itu yang pasti Freya tak akan menemukannya. “Dav, Andre ke mana sih? Udah 3 hari ini nggak sekolah?” tanya Freya pada David sahabat dekat sekaligus teman sebangku Andre. “Lo emang gak tahu Frey? Andre kan pindah ke surabaya. Katanya dia mau nemenin neneknya,” ujar David sambil memainkan bola basketnya.
“Apa? Andre pindah ke surabaya? Kok dia nggak ngabarin gue sih Dav?”
“Ya iyalah Frey jelas dia nggak kasih kabar ke lo. Andre gak mau lo nyari dia lagi Frey. Dia pengen lo belajar mencintai Andra yang sekarang udah jadi pacar lo.” David berbicara agak sedikit pelan karena takut ada orang yang mendengar atau Andra yang kebetulan lewat lapangan basket itu.

Freya berlari meninggalkan lapangan basket itu dan menuju ke kelas. Air mata itu pun jatuh lagi di pipi Freya yang pucat itu. “Udah Frey lupain Andre ya,” Dita mencoba untuk menenangkan sahabatnya dengan membawakannya mocachino kesukaan Freya. “Gue sayang banget sama dia Dit,”
“Iya Frey gue paham. Bukan cuma lo kok yang sakit, Andre juga sakit Frey Andre juga rasain apa yang saat ini lo rasain,”

“Udah ya Frey jangan nangis aja. Nanti lo sakit kalau nangis terus.” Dita mencoba menahan titik air mata yang hampir menetes di pipinya itu. Hujan mengguyur kota bandung dan sekitarnya pada malam itu. Freya berjalan tak tahu arah akan ke mana. Air mata yang deras mulai membasahi pipi Freya. Ia tak peduli seberapa deras hujan malam itu. Yang ia tahu, rasa rindunya terhadap Andre lebih deras dari hujan itu.

“Frey… Freya ayo pulang Frey,” Dita berlari ke arah gadis berkulit putih itu sambil membawa sebuah payung.
“Gue nggak mau pulang Dit,” Freya mulai menjatuhkan badannya ke aspal dan menangis sejadi jadinya.
“Frey, Andra ada di depan rumah lo,” ujar dita sambil berjongkok dan memayungi sahabatnya yang kini mulai menggigil karena kedinginan.
“Dit..” Freya memeluk Dita sambil terus meneteskan air matanya.
“Ya udah, lo balik ya. Gue nggak mau lo sakit.” Freya menganggukkan kepalanya dan berdiri. Dita lalu menuntun Freya berjalan ke rumahnya.

“Ndre, makan yuk?” ucap seorang wanita yang terlihat sudah berumur itu.
“Andre belum laper Nek. Nenek aja duluan yah,” Andre tersenyum ramah sambil memegangi tangan neneknya.
“Kamu sudah 3 hari nggak makan loh. Masa sih kamu nggak lapar?”
“Nanti aja Nek. Andre mau istirahat aja, ngantuk.” Andre berjalan pelan menuju kamarnya. Hanya satu yang terlintas di pikirannya yaitu Freya. Wanita yang sudah menjadi milik kakaknya itu kini terbayang dalam ingatan Andre. “Maafin aku Frey, aku nggak ada maksud nyakitin kamu. Tapi ini demi hubungan kita.”

“Frey, happy monthsarry yang ketiga ya sayang,” Andra memberikan sebuah mawar putih untuk Freya.
“Makasih ya dra,” Freya tersenyum sambil mencium mawar itu.
“Kita makan yuk?”
“Emm.. Ayo deh,” Freya dan Andra lalu pergi ke sebuah restoran yang lumayan bagus.
“Kita ke sini?” tanya Freya heran.
“Ya sayang. Kamu suka nggak tempatnya?”
“Kita di mana sih Ndre? Kok mata aku ditutup gini?”
“Kamu buka penutup matanya.”

Andre tersenyum sambil membantu membuka penutup mata Freya.
“Surprise!!” Andre nampak bahagia bisa mengajak Freya ke tempat itu.
“Ndre ini bagus banget,” Freya terlihat takjub melihat sebuah restoran mewah yang sudah Andre rancang tempatnya itu. “Aku nabungin uang jajan aku selama 3 minggu buat nyiapin ini. Dan aku puas saat lihat kamu bahagia hari ini. Happy anniversarry 1 years ya sayang.” Andre memberikan boneka doraemon kepada Freya. “Makasih ya sayang. Aku bahagia banget.” Freya memegangi tangan Andre dengan lembut.

“Frey? Kok nangis?” ucapan Andra barusan sepertinya mengagetkan Freya yang sedang melamun.
“Aku nggak apa-apa kok Ndre eng, Ndra,” untunglah Andra tidak mendengarkan kesalahan dalam ucapan Freya tadi.
“Ya udah kita makan yuk?” Andra menggenggam tangan Freya dan mengajaknya makan malam berdua.
“Besok aku berangkat ke surabaya,” ujar Andra sambil mengemudikan mobilnya.
“Ngapain?” tanya Freya.
“Nengok Andre. Katanya dia sakit,” seketika jantung Freya berdetak lebih kencang dari biasanya.
“Apa? Andre sakit? Sakit apa Ndra? Andre kenapa?” kini kekhawatiran pun terlihat dari wajah Freya.
“Andre kena typus Frey. Kok kamu sepanik itu sih denger Andre sakit?” Andra sedikit heran dengan tingkah Freya yang aneh itu. “Eng..Engga kok. Andre itu sahabat aku.” Freya mencoba mencairkan suasana kembali.

Keesokan paginya Andra berangkat ke surabaya dengan mobilnya. Namun naas, kabar duka menghampiri Freya kala itu. Mobil Andra mengalami kecelakaan hebat hingga menyebabkan Andra kehilangan penglihatannya. 3 hari kemudian, Andra mendapat donor mata dan akhirnya bisa melihat lagi.
“Pa, siapa yang donorin mata untuk aku?” Tanya Andra pada ayahnya yang setia menunggunya di rumah sakit.
“Yang mendonorkan mata itu adalah Andre Adikmu nak,” kini ayah Andra menangis deras.
“Andre? Andre sekarang di mana Pa? Aku harus ketemu dengan Andre,” Andra berusaha bangkit dari ranjang rumah sakit itu. “Andre sudah tiada. Sebenarnya saat kamu kecelakaan, dia juga mengalami kecelakaan saat akan berangkat sekolah.”

Freya yang mendengar jelas perkataan Ayah Andra langsung menangis. Air matanya tak mampu dibendung lagi. Tubuhnya lemas. Seluruh badannya bergetar. Hatinya hancur seperti kehilangan semangat. Freya tak menyangka bahwa dia bukan hanya kehilangan kenangan bersama Andre. Namun kini ia sudah kehilangan separuh diri Andre.
“Frey, ini buat lo,” David memberikan surat untuk Freya.
“Ini apa?” tanyanya.
“Itu dari Andre Frey. Dia ngasih ke gue pas lagi dirawat di sini pas mau operasi. Frey sebenernya alasan Andre ninggalin lo bukan cuma karena Andra. Tapi Andre sakit Frey, dia terkena gagal ginjal dan dia gak mau bikin lo susah.” Freya menangis saat mendengar pernyataan David itu. 3 hari setelah itu, Freya mulai tenang dan sudah berani membuka surat dari Andre.

“Demi Tuhan aku tidak pernah menemukan wanita sekuat kamu. Aku tidak pernah menemukan wanita setegar dan sesabar kamu. Aku mencintaimu lebih dari kamu mencintaiku. Aku akan tepati janjiku aku akan menjagamu hingga napas ini habis. Bahkan saat napasku telah habis aku ingin terus menjagamu. Tolong, biarkan aku tetap menyayangimu, memelukmu, dan mencintaimu melalui mataku.”

“Berjanjilah untuk tidak meneteskan air mata kesedihan saat nanti mataku melihat wajahmu. Frey, andai aku bisa memilih aku lebih baik mati daripada melukaimu. Tapi kini aku melakukan keduanya dan aku mohon maafkan aku. Jika aku sudah pergi, berjanjilah untuk tidak menyakitinya karena air matanya adalah air mataku juga. Satu hal yang selalu kau ingat. Biarkan kisah kita tetap menjadi rahasia. Biarkanlah kamu dan mataku yang mengetahuinya. Freya aku mencintaimu hingga napas ini habis. Andre Aditya Reynaldi.”

Kisah sang motivator...


Sunday, March 20, 2016

Amy

Pada suatu hari yang panas tahun 1984, orang-orang di sebuah kota kecil di New Mexico mengawasi saat seorang pelari muda yang kuat mengoperkan obor Olimpiade ke pelari berikutnya, Amy yang berumur sembilan tahun. Dengan keadaannya yang cacat dan bungkuk, Amy telah lama sekali ingin membawa obor itu dalam perjalannya dari Atena ke Los Angeles. Ketika ia memegang obor yang berat itu, ia harus memegangnya dengan kedua tangannya. Ia tidak memiliki kekuatan maupun ketangkasan seperti pelari sebelumnya.

Banyak orang yang kemudian meneriakkan kata-kata penyemangat, tetapi hanya sedikit yang menganggap ia dapat menyelesaikan jarak yang harus ditempuhnya. Mereka tidak tahu bahwa Amy sangat ingin menyelesaikan tantangan itu. Ia menginginkannya lebih dari apapun di dunia ini. Ia dan ibunya telah mengumpulkan uang untuk membayar tiket masuk seharga $3000 dengan berjualan dan mengadakan garage sale di halaman depan mereka. Amy berlatih selama setahun dengan palu seberat 5 kg, tetapi tidak pernah sekalipun pada tahun itu ia mampu menyelesaikan jarak tersebut. Namun, semangatnya terus berobar, tak ada sikap menyerah dalam dirinya.

Saat orang banyak bersorak-sorai kepadanya, ia berlari dengan lambat tapi pasti. Herannya, kali ini Amy bisa menyelesaikan jarak yang harus ditempuh dan membuat semua orang takjub. Ia telah mengatasi cacat tubuhnya dan melakukan apa yang tampaknya mustahil.

________________________________________

Tidak ada yang mustahil saat kita meletakkan semua cita-cita, harapan dan apapun yang menjadi impian kita kedalam tangan Tuhan,  pasti itu akan menjadi kenyataan ! Hanya seringkali pada saat kita memilki impian dan kita gagal meraihnya, maka semangat, harapan dan doa kitapun ikut menjadi buyar bersama mimpi kita tersebut. Kita harus memiliki mental baja yang tahan banting seperti Amy di kisah ini,

Ada kalimat motivasi “PEMENANG BUKANLAH ORANG YANG TIDAK PERNAH GAGAL TETAPI ORANG YANG TIDAK PERNAH MENYERAH” Kita harus terus melangkah, jangan pernah berhenti ada banyak hal yang bisa membuat langkah kita terhenti. Tetaplah fokus dan teruslah berdoa agar Tuhan senantiasa memberikan kekuatan, hikmat dan jalan keluar disaat jalan rasanya menjadi buntu.

Kesuksesan bukan sebuah dongeng orang-orang, sebuah keberhasilan itu bukan nasib atau takdir, tetapi merupakan perjalanan hidup yang pantang menyerah disertai doa kepada Tuhan..tetap semangat !

Kisah semangat hidup anak yg cacat..keren habis..


Kisah pengamen jalanan 2


Kisah pengamen jalanan di china idol mengharukan


Kisah keluarga petani

Dikisahkan, di sebuah dusun tinggallah keluarga petani yang memiliki seorang anak masih bayi. Keluarga itu memelihara seekor anjing yang dipelihara sejak masih kecil. Anjing itu pandai, setia, dan rajin membantu si petani. Dia bisa menjaga rumah bila majikannya pergi, mengusir burung-burung disawah dan menangkap tikus yang berkeliaran di sekitar rumah mereka. Si petani dan istrinya sangat menyayangi anjing tersebut.

Suatu hari, si petani harus menjual hasil panennya ke kota. Karena beban berat yang harus di bawanya, dia meminta istrinya ikut serta untuk membantu,agar secepatnya menyelesaikan penjualan dan sesegera mungkin pulang ke rumah.

Si bayi di tinggal tertidur lelap di ayunan dan dipercayakan di bawah penjagaan anjing mereka.
Menjelang malam setiba di dekat rumah, si anjing berlari menyongsong kedatangan majikannya dengan menyalak keras berulang-ulang,melompat-lompat dan berputar-putar, tidak seperti biasanya.

Suami istri itu pun heran dan merasa tidak tenang menyaksikan ulah si anjing yang tidak biasa. Dan Betapa kagetnya mereka, setelah berhasil menenangkan anjingnya…astaga, ternyata moncong si anjing berlumuran darah segar.
‘Lihat pak! Moncong anjing kita berlumuran darah! Pasti telah terjadi sesuatu pada anak kita!’ teriak si ibu histeris, ketakutan, dan mulai terisak menangis. ‘Ha…benar! Kurang ajar kau anjing! Kau apakan anakku? Pasti telah kau makan!’
si petani ikut berteriak panik. Dengan penuh kemarahan, si petani spontan meraih sebuah kayu dan secepat kilat memukuli si anjing itu dan mengenai bagian kepalanya.

Anjing itu terdiam sejenak.
Tak lama dia menggelepar kesakitan,
memekik perlahan dan dari matanya tampak tetesan airmata, sebelum kemudian ia terdiam untuk selamanya.
Bergegas kedua suami istri itu pun berlari masuk ke dalam rumah. Begitu tiba di kamar, tampak anak mereka masih tertidur lelap di ayunan dengan damai. Sedangkan di bawah ayunan tergeletak bangkai seekor ular besar dengan darah berceceran bekas gigitan. Mereka pun segera sadar bahwa darah yang menempel di moncong anjing tadi adalah darah ular yang hendak memangsa anak mereka. Perasaan sesal segera mendera. Kesalahan fatal telah mereka lakukan.

___________________________________________

Emosi kemarahan yang tidak terkendali telah membunuh anjing setia yg mereka sayangi. Tentu, penyesalan mereka tidak akan membuat anjing kesayangan itu hidup kembali. Sungguh mengenaskan. Gara-gara emosi dan kemarahan yang membabi buta dari ulah manusia, seekor anjing setia yang telah membantu dan membela majikannya, harus mati secara tragis.

Saya rasa demikian pula di kehidupan ini. Begitu banyak permasalahan, pertikaian, perselisihan bahkan peperangan, muncul dari emosi yang tidak terkontrol. Sungguh, kita butuh belajar dan melatih diri agar disaat emosi, kita mampu mengendalikan diri secara sabar dan bijak.

Dari cerita ini kita belajar janganlah ceroboh dalam bertindak karena penyesalan selalu datang terakhir dan sayangi selalu hewan peliharaan anda karena hewan itu ternyata lebih setia daripada manusia.

Thursday, March 17, 2016

Bahagia


Bahagia ada di Dalam Diri Kita

Org miskin makan makanan yg sederhana sdh nikmat sekali.
Ttp, bagi org yg kaya raya, makan makanan yg mewah baru merasa nikmat.

Kalau kita periksa,
di dlm mknan yg sederhana & mknan mewah itu,
adakah kebahagiaan disana? Tidak ada !
Senang & nikmat ada
di dlm batin.

Kalau org kaya kita beri mknan yg sederhana menjd kecewa & jengkel.
Apakah kecewa & jengkel itu ada dlm mknan itu?
Ternyata tidak ada!
Kecewa & jengkel ada
di dlm batin.

Kebahagiaan ada dlm diri kita sndr.
Kita tdk perlu mencarinya jauh.
Agama apapun tdk bisa menghadiahkan kebahagiaan,
tp hanya menunjukkan caranya.

Kita sndr yg hrs melaksanakannya.
Smua itu bergantung kpd kita sndr.

Siapa yg membuat bahagia?
Kita sendiri.
Siapa yg membuat tdk bahagia?
Kita sendiri juga.

Kebahagiaan bergantung pada perubahan yg kita lakukan  
di dlm diri kita sendiri

Kalau kita berani mengubah sikap hidup,
menghancur leburkan keserakahan, keakuan;
tidak hanya untuk menjaga gengsi,
ttp benar2 ingin menghancurkan nafsu keburukan,
maka kebahagiaan akan muncul dlm batin kita.

Jika kebahagiaan sdh muncul di dlm batin,
kita akan merasa bahagia setiap saat.

Cobalah renungkan,
kebahagiaan ada di dlm diri kita,
tdk ada dlm mknan,
tdk ada dlm pakaian,
tdk ada dlm rmh yg bagus,
juga tdk ada di dlm mobil yg berganti-ganti.

Apa saja yg kita hadapi,
bisa membuat kita menderita,
krn penderitaan itu kita yg membuatnya sndr.

Sebaliknya, kita juga bisa utk tdk membuat penderitaan.

Jadi kalau menghadapi apapun, 
buatlah agar tdk menjadi menderita karena kita sendiri yg bisa membuat menjadi penderitaan atau kebahagiaan.

Tetap Semangat..
Be happy & enjoy
God Bless Us

Dibatas penyesalan

DI BATAS PENYESALANKU

Sebuah salah pengertian yg mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga. Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya sudah terlambat. Membawa nenek untuk tinggal bersama menghabiskan masa tuanya bersama kami, malah telah mengkhianati ikrar cinta yg telah kami buat selama ini.  Setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput nenek di kampung untuk tinggal bersama.

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayah dan ibunya, dia adalah satu-satunya harapan nenek, nenek pula yg membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga tamat kuliah. Jadi neneklah yang menjadi figur ibu di hidupnya.

Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar yg menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suami berdiri didepan kamar yg sangat kaya dgn sinar matahari, tidak sepatah katapun yg terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India dan berkata : “Mari,kita jemput nenek di kampung”.

Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yg bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa diangkat dan dimasukan kedalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.

Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah. Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata kepada suami : “Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?” Aku menjelaskannya kepada nenek : “Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira. “ Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa : “Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga.”

Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku memencet hidungku sambil berkata : “Putriku, kan kamu bisa berbohong.Jangan katakan harga yang sebenarnya.” Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik.

Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.

Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi disaat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya ; dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.

Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci, agar supaya dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi kecewa dan marah. “Apa salahku?” Dia melotot sambil berkata : “Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan pring itu bisa membuatmu mati?”

Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg culup lama, suasana mejadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?

Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata : “Din, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?” sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata : “Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi. “Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yg serba canggung itu.

Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu perasaan yg sangat mual menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku segera mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yg tajam, diluar sana terdengar suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!

Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh……suamiku segera mengejarnya keluar rumah.

Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku berkata : “Din, sebaiknya kamu periksa ke dokter. “Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira yg terselip juga kesedihan. Mengapa suami dan nenek sebagai orang yg berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?

Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi…..mimpiku tidak menjadi kenyataan. Didalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk?

Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yg penuh dengan kebencian, aku menangis dengan sedihnya. Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dengan wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku nenatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yg sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata.

Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di kantornya. Di kantornya aku bertemu dengan seketarisnya yg melihatku dengan wajah bingung. “Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal. Suamiku tidak pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yg terbujur kaku. Sambil menangis aku menjerit dalam hati : “Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?”

Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh dengan kebencian. Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yg datang ke arahnya dengan kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu,jika kami tidak bertengkar, jika…………di matanya, akulah penyebab kematian nenek.

Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah.

Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah café, melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam. Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan mengerti apa yg telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa. Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku dan segera hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg tidak kalah tajam dariku. Suara detak jangtungku terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian. Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak…mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan mereka.

Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin menelepon dia walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi………, semua berlalu begitu saja.

Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yg sedang histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.

Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya : “Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya”. Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar. Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya. “Din, kamu hamil?” Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yg menglir keluar dengan derasnya. Aku menjawab : “Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi”. Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukan badanya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yg sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.

Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata : “Maafkan aku, maafkan aku”. Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami telah ada sebuah luka yg menganga. Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya. Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi aku tidak perduli. Itu adalah permainan dia dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lupa…….., itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yg aku miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi aku tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku. Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.

Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah yg ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yg mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yg kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yg mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia?

Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Aku memegang tanganya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku berteriak histeris memanggil namanya.

Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya………aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mukjijat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yg lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi perduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke kamar nenek lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara…………Sebuah surat yg sangat panjang ada di dalam komputer yg ditujukan kepada anak kami. “Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yg akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah.

“Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun -tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yg paling mencintaimu dan adalah orang yg paling ayah cintai”.

Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap didalamnya. Dia juga menulis sebuah surat untukku. “Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yag paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini.

Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannyapada anak kita. Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya”.

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak kami dan membaringkannya diatas dadanya sambil berkata : “Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya”. Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum…………..anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yg mungil memegangi tangan ayahnya yang kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata………………..

Mungkin saat ini air mata anda sedang jatuh mengalir atau mata masih sembab sehabis menangis, ingatlah pesan dari cerita ini :

Jika ada sesuatu yg mengganjal di hati diantara kalian yg saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah jangan simpan didalam hati. Siapa tau apa yg akan terjadi besok? Ada sebuah pertanyaan : Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali semua hal yg telah kita perbuat? atau apa yang telah kita ucapkan?

Sebelum segalanya menjadi terlambat, pikirlah dengan matang semua yang akan kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup......ingat ya sahabat..

Kisah karma baik


Iklan yg mengharukan


Kisah gadis kecil


Enam jam saja

enam jam saja.......

Ada pasangan suami isteri yang sudah hidup beberapa lama tetapi belum mempunyai keturunan. Sejak 10 tahun yang lalu, sang istri terlibat aktif dalam kegiatan untuk menentang ABORSI,karena menurut pandangannya, aborsi berarti membunuh seorang bayi.
Setelah bertahun-tahun berumah-tangga, akhirnya sang istri hamil, sehingga pasangan tersebut sangat bahagia. Mereka menyebarkan kabar baik ini kepada famili, teman-teman dan sahabat-sahabat, serta lingkungan sekitarnya. Semua orang ikut bersukacita dengan mereka. Dokter menemukan bayi kembar dalam perutnya, seorang bayi laki-laki dan perempuan. Tetapi setelah beberapa bulan, sesuatu yang buruk terjadi. Bayi perempuan mengalami kelainan, dan ia mungkin tidak bisa hidup sampai masa kelahiran tiba. Dan kondisinya juga dapat mempengaruhi kondisi bayi laki-laki. Jadi dokter menyarankan untuk dilakukan aborsi, demi untuk sang ibu dan bayi laki-lakinya.

Fakta ini membuat keadaan menjadi terbalik. Baik sang suami maupun sang istri mengalami depresi. Pasangan ini bersikeras untuk tidak menggugurkan bayi perempuannya (membunuh bayi tersebut), tetapi juga kuatir terhadap kesehatan bayi laki-lakinya. “Saya bisa merasakan keberadaannya, dia sedang tidur nyenyak”, kata sang ibu di sela tangisannya. Lingkungan sekitarnya memberikan dukungan moral kepada pasangan tersebut,dengan mengatakan bahwa ini adalah kehendak Tuhan.

Ketika sang istri semakin mendekatkan diri dengan Tuhan, tiba-tiba dia tersadar bahwa Tuhan pasti memiliki rencanaNya dibalik semua ini. Hal ini membuatnya lebih tabah. Pasangan ini berusaha keras untuk menerima fakta ini. Mereka mencari informasi di internet, pergi ke perpustakaan, bertemu dengan banyak dokter, untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah bayi mereka. Satu hal yang mereka temukan adalah bahwa mereka tidak sendirian. Banyak pasangan lainnya yang juga mengalami situasi yang sama, dimana bayi mereka tidak dapat hidup lama. Mereka juga menemukan bahwa beberapa bayi akan mampu bertahan hidup, bila mereka mampu memperoleh donor organ dari bayi lainnya. Sebuah peluang yang sangat langka. Siapa yang mau mendonorkan organ bayinya ke orang lain ? Jauh sebelum bayi mereka lahir, pasangan ini menamakan bayinya, Jeffrey dan Anne. Mereka terus berdo’a kepada Tuhan. Pada mulanya,mereka memohon keajaiban supaya bayinya sembuh. Kemudian mereka tahu, bahwa mereka seharusnya memohon agar diberikan kekuatan untuk menghadapi apapun yang terjadi, karena mereka yakin Tuhan punya rencanaNya sendiri.

Keajaiban terjadi, dokter mengatakan bahwa Anne cukup sehat untuk dilahirkan, tetapi ia tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 jam. Sang istri kemudian berdiskusi dengan suaminya, bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi pada Anne, mereka akan mendonorkan organnya. Ada dua bayi yang sedang berjuang hidup dan sekarat, yang sedang menunggu donor organ bayi. Sekali lagi, pasangan ini berlinangan air mata. Mereka menangis dalam posisi sebagai orang tua, dimana mereka bahkan tidak mampu menyelamatkan Anne. Pasangan ini bertekad untuk tabah menghadapi kenyataan yg akan terjadi.

Hari kelahiran tiba. Sang istri berhasil melahirkan kedua bayinya dengan selamat. Pada momen yang sangat berharga tersebut, sang suami menggendong Anne dengan sangat hati-hati, Anne menatap ayahnya, dan tersenyum dengan manis. Senyuman Anne yang imut tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya. Tidak ada kata-kata di dunia ini yang mampu menggambarkan perasaan pasangan tersebut pada saat itu. Mereka sangat bangga bahwa mereka sudah melakukan pilihan yang tepat (dengan tidak mengaborsi Anne), mereka sangat bahagia melihat Anne yang begitu mungil tersenyum pada mereka, mereka sangat sedih karena kebahagiaan ini akan berakhir dalam beberapa jam saja. Kakak Anne, Jeffrey Pun menangis…

Sungguh tidak ada kata-kata yang dapat mewakili perasaan pasangan tersebut. Mungkin hanya dengan air mata yang terus jatuh mengalir, air mata yang berasal dari jiwa mereka yang terluka..

Baik sang kakek, nenek, maupun kerabat famili memiliki kesempatan untuk melihat Anne. Keajaiban terjadi lagi, Anne tetap bertahan hidup setelah lewat 2 jam. Memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi keluarga tersebut untuk saling berbagi kebahagiaan. Tetapi Anne tidak mampu bertahan setelah enam jam…..

Para dokter bekerja cepat untuk melakukan prosedur pendonoran organ. Setelah beberapa minggu, dokter menghubungi pasangan tersebut bahwa donor tersebut berhasil. Dua bayi berhasil diselamatkan dari kematian. Pasangan tersebut sekarang sadar akan kehendak Tuhan. Walaupun Anne hanya hidup selama 6 jam, tetapi dia berhasil menyelamatkan dua nyawa. Bagi pasangan tersebut, Anne adalah pahlawan mereka, dan sang Anne yang mungil akan hidup dalam hati mereka selamanya…

SESUNGGUHYA, tidaklah penting berapa lama kita hidup, satu hari ataupun bahkan seratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang telah kita lakukan selama hidup kita, yang bermanfaat bagi orang lain.

Kotak kasih ibu

Kotak kasih ibu...

Ada sebuah peristiwa yang terjadi pada sebuah desa kecil, suatu ketika ada seorang ibu yang penuh kasih pergi ke kota besar, setelah kembali ke rumah dirinya berubah total dari sebelumnya. Semula ibu ini sangat mengasihi puterinya, tak peduli seberapa larut pun anaknya pulang rumah, dia akan menunggu untuk membuatkan makanan enak dan diantarkan ke hadapan anaknya. Akan tetapi sejak pulang dari kota besar, sang ibu berubah dan tidak mau lagi mengurus anaknya, biar pun anaknya pulang sangat larut malam, sang ibu tidak pernah mengindahkannya, bahkan tidak memasak lagi di rumah. Ketika sang anak merasa lapar dan memberitahukan pada sang ibu, dia hanya menjawab dengan nada dingin: “Kamu sudah besar, apakah masih belum bisa masak sendiri?”

Dari itu, sang anak berpikir bahwa sang ibu tidak sayang padanya lagi, lalu timbul perasaan tidak senang dan benci pada sang ibu, dia mulai mencuci pakaian sendiri, menata kamar sendiri, saat lapar memasak sendiri, semua urusan harus dikerjakan sendiri, sebab biar pun dirinya merasa lelah, haus, lapar atau mengantuk, sang ibu tidak pernah memperdulikannya. Dalam hati dia beranggapan kalau sang ibu sudah tiada. Tak seberapa lama kemudian, sang ibu pun meninggal dunia, selama selang waktu ini, sang anak sudah jauh hubungannya dengan sang ibu, bahkan bersikap dingin dan seakan bermusuhan, sehingga kematian ibunya tidak membawa dampak kesedihan sama sekali pada dirinya.

Selanjutnya ayahnya kawin kembali, setelah ibu tirinya tinggal di rumah mereka, dia merasa ibu tirinya sangat baik padanya, paling tidak masih menyisakan sedikit lauk dan nasi baginya, setelah lelah seharian tidak perlu memasak sendiri, jadi hubungan dengan ibu tirinya masih terhitung cukup harmonis.

Sang anak belajar dengan keras dan akhirnya berhasil dalam ujian masuk perguruan tinggi. Akan tetapi dikarenakan kondisi ekonomi keluarga tidak baik, maka dia tidak ada dana untuk membayar uang kuliah, ketika sedang diliputi kecemasan, ayahnya menyerahkan sebuah kotak kecil kepadanya dan memberitahukan kalau sebelum ibunya meninggal dunia ada berpesan agar pada saat menemui kondisi paling sulit, baru boleh menyerahkan kotak inikepadanya. Sang anak menerima kotak ini dari ayahnya, ketika dibuka ternyata di dalamnya ada setumpuk uang dengan selembar surat di sampingnya.

Dalam surat tersebut tertulis pesan ibunya:

Anakku, kali itu ketika ibu pergi ke kota, sebetulnya ibu pergi memeriksakan kesehatan tubuh, setelah dilakukan pemeriksaan, barulah ibu tahu kalau ibu terkena kanker dan sudah stadium akhir, saat itu ibu hampir-hampir tidak bisa berdiri lagi. Ibu bukan khawatir akan diri ibu, akan tetapi ibu khawatir akan dirimu. Ibu berpikir jika ibu sudah tiada, bagaimana dengan dirimu nanti? Kamu masih kecil, bagaimana kamu bisa melanjutkan hidup? Bagaimana menghadapi masa depanmu?

Dari itu, sepulangnya ibu ke rumah, ibu bersikap dingin kepadamu dan ingin kamu mengerjakan sendiri semuanya, juga tidak peduli lagi padamu agar kamu membenci ibu, dengan demikian sesudah ibu sudah tidak ada di dunia ini lagi nanti, kamu tidak akan diliputi dengan kesedihan.

Anakku, walau ibu tidak pernah bertanya padamu, namun di dalam hati ibu sebetulnya tetap mengkhawatirkan dirimu, setiap kali kamu pulang larut malam, walau ibu tidak membuka pintu untuk melihat dirimu, namun ibu tetap menunggumu pulang. Ketika kamu pulang dengan tubuh lelah dan perut lapar, ibu membiarkanmu masak sendiri, sebab ibu berharap sesudah ibu tiada nanti, kamu bisa menjaga diri. Dulu ibu mengerjakan semuanya untukmu, namun sesudah ibu tiada nanti, siapa lagi yang akan menjagamu? Segala sesuatu di kemudian hari harus bergantung pada dirimu sendiri.

Ibu berlaku buruk padamu, bahkan tidak memasakkan nasi untukmu dan semua pekerjaan harus kamu lakukan sendiri, maka dengan demikian ketika nanti ayahmu kawin kembali, kamu akan berpikir bahwa ibu baru akan lebih baik dari ibu, sehingga kalian akan dapat berhubungan dengan baik dan hari-harimu akan lebih mudah dilalui.

Dalam kotak ini ada uang 6 juta Rupiah yang diberikan nenek kepada ibu, sebetulnya ini adalah uang berobat ibu, namun ibu tidak rela menggunakannya, ibu tinggalkan untukmu dengan harapan ketika nanti kamu masuk perguruan tinggi dan membutuhkan uang, kamu dapat menggunakannya. Sekarang, ibu meminta bantuan ayah untuk menyampaikannya kepadamu.

Air mata segera mengaburkan mata sang anak, juga mengaburkan sepasang mata kita yang membaca kisah ini, kasih ibu terhadap anak sungguh tanpa pamrih dan penuh akal budi, mana mungkin ada ibu yang tidak mengasihi anaknya? Ketika dia harus menahan perhatian dan kasih dalam hatinya kepada anak, harus berusaha keras untuk memperlihatkan wajah dingin kepada anaknya, saya sungguh sulit membayangkan, betapa menderitanya perasaan ibu ketika itu, namun demi perkembangan anak yang lebih baik dan kehidupan anak yang lebih berbahagia di masa mendatang, ibu rela menerima segala kesedihan, bahkan tidak menyesal untuk membiarkan sang anak salah paham terhadapnya.

Buku harian ellen

buku harian ellen.. sebuah kisah yg mengharukan.....

Lima tahun usia pernikahanku dengan Ellen sungguh masa yang sulit. Semakin hari semakin tidak ada kecocokan diantara kami. Kami bertengkar karena hal-hal kecil. Karena Ellen lambat membukakan pagar saat aku pulang kantor. Karena meja sudut di ruang keluarga yang ia beli tanpa membicarakannya denganku, bagiku itu hanya membuang uang saja.

Hari ini, 27 Agustus adalah ulang tahun Ellen. Kami bertengkar pagi ini karena Ellen kesiangan membangunkanku. Aku kesal dan tak mengucapkan selamat ulang tahun padanya, kecupan di keningnya yang biasa kulakukan di hari ulang tahunnya tak mau kulakukan. Malam sekitar pukul 7, Ellen sudah 3 kali menghubungiku untuk memintaku segera pulang dan makan malam bersamanya, tentu saja permintaannya tidak kuhiraukan.

Jam menunjukkan pukul 10 malam, aku merapikan meja kerjaku dan beranjak pulang. Hujan turun sangat deras, sudah larut malam tapi jalan di tengah kota Jakarta masih saja macet, aku benar-benar dibuat kesal oleh keadaan. Membayangkan pulang dan bertemu dengan Ellen membuatku semakin kesal! Akhirnya aku sampai juga di rumah pukul 12 malam, dua jam perjalanan kutempuh yang biasanya aku hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai di rumah.

Kulihat Ellen tertidur di sofa ruang keluarga. Sempat aku berhenti di hadapannya dan memandang wajahnya. “Ia sungguh cantik” kataku dalam hati, “Wanita yang menjalin hubungan denganku selama 7 tahun sejak duduk di bangku SMA yang kini telah kunikahi selama 5 tahun, tetap saja cantik”. Aku menghela nafas dan meninggalkannya pergi, aku ingat kalau aku sedang kesal sekali dengannya.

Aku langsung masuk ke kamar. Di meja rias istriku kulihat buku itu, buku coklat tebal yang dimiliki oleh istriku. Bertahun-tahun Ellen menulis cerita hidupnya pada buku coklat itu. Sejak sebelum menikah, tak pernah ia ijinkan aku membukanya. Inilah saatnya! Aku tak mempedulikan Ellen, kuraih buku coklat itu dan kubuka halaman demi halaman secara acak.

14 Februari 1996. Terima kasih Tuhan atas pemberianMu yang berarti bagiku, Vincent, pacar pertamaku yang akan menjadi pacar terakhirku.

Hmm… aku tersenyum, Ellen yakin sekali kalau aku yang akan menjadi suaminya.

6 September 2001, Tak sengaja kulihat Vincent makan malam dengan wanita lain sambil tertawa mesra. Tuhan, aku mohon agar Vincent tidak pindah ke lain hati.

Jantungku serasa mau berhenti…

23 Oktober 2001, Aku menemukan surat ucapan terima kasih untuk Vincent, atas candle light dinner di hari ulang tahun seorang wanita dengan nama Melly. Siapakah dia Tuhan? Bukakanlah mataku untuk apa yang Kau kehendaki agar aku ketahui…

Jantungku benar-benar mau berhenti. Melly, wanita yang sempat dekat denganku disaat usia hubunganku dengan Ellen telah mencapai 5 tahun.

Melly, yang karenanya aku hampir saja mau memutuskan hubunganku dengan Ellen karena kejenuhanku. Aku telah memutuskan untuk tidak bertemu dengan Melly lagi setelah dekat dengannya selama 4 bulan, dan memutuskan untuk tetap setia kepada Ellen. Aku sungguh tak menduga kalau Ellen mengetahui hubunganku dengan Melly.

4 Januari 2002, Aku dihampiri wanita bernama Melly, Ia menghinaku dan mengatakan Vincent telah selingkuh dengannya. Tuhan, beri aku kekuatan yang berasal daripadaMu.

Bagaimana mungkin Ellen sekuat itu, ia tak pernah mengatakan apapun atau menangis di hadapanku setelah mengetahui aku telah menghianatinya. Aku tahu Melly, dia pasti telah membuat hati Ellen sangat terluka dengan kata-kata tajam yang keluar dari mulutnya. Nafasku sesak, tak mampu kubayangkan apa yang Ellen rasakan saat itu.

14 Februari 2002, Vincent melamarku di hari jadi kami yang ke-6. Tuhan apa yang harus kulakukan? Berikan aku tanda untuk keputusan yang harus kuambil.

14 Februari 2003, Hari minggu yang luar biasa, aku telah menjadi Nyonya Alexander Vincent Winoto. Terima kasih Tuhan!

18 Juli 2005, Pertengkaran pertama kami sebagai keluarga. Aku harap aku tak kemanisan lagi membuatkan teh untuknya. Tuhan, bantu aku agar lebih berhati-hati membuatkan teh untuk suamiku.

7 April 2006, Vincent marah padaku, aku tertidur pulas saat ia pulang kantor sehingga ia menunggu di depan rumah agak lama. Seharian aku berada mall mencari jam idaman Vincent, aku ingin membelikan jam itu di hari ulang tahunnya yang tinggal 2 hari lagi. Tuhan, beri kedamaian di hati Vincent agar ia tidak marah lagi padaku, aku tak akan tidur di sore hari lagi kalau Vincent belum pulang walaupun aku lelah.

Aku mulai menangis, Ellen mencoba membahagiakanku tapi aku malah memarahinya tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Jam itu adalah jam kesayanganku yang kupakai sampai hari ini, tak kusadari ia membelikannya dengan susah payah.

15 November 2007, Vincent butuh meja untuk menaruh kopi di ruang keluarga, dia sangat suka membaca di sudut ruang itu. Tuhan, bantu aku menabung agar aku dapat membelikan sebuah meja, hadiah Natal untuk Vincent.

Aku tak dapat lagi menahan tangisanku, Ellen tak pernah mengatakan meja itu adalah hadiah Natal untukku. Ya, ia memang membelinya di malam Natal dan menaruhnya hari itu juga di ruang keluarga.

Aku sudah tak sanggup lagi membuka halaman berikutnya. Ellen sungguh diberi kekuatan dari Tuhan untuk mencintaiku tanpa syarat.

Aku berlari keluar kamar, kukecup kening Ellen dan ia terbangun… “Maafkan aku Ellen, Aku mencintaimu, Selamat ulang tahun…”

BAGAIMANA KISAH INI MENURUT ANDA? DITUNGGU COMMENTNYA!

Menyentuh hati

Kisah yg menyentuh hati.. dan bisa jadi pembelajaran buat pasangan suami istri....

Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku. Sambil memegang tangannya aku berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Istriku lalu duduk di samping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku.

Aku ingin sebuah perceraian di antara kami, karena itu aku beranikan diriku. Nampaknya dia tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik bertanya kepadaku dengan tenang, “Mengapa?” Aku menolak menjawabnya, ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin tahu alasan di balik keinginanku untuk bercerai.

Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai dan dia dapat memiliki rumah kami, mobil, dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah dan merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku itu telah menjadi orang yang asing di hatiku. Aku minta maaf kepadanya karena dia telah membuang waktunya 10 tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadaku, tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane, wanita simpananku, bahwa aku sungguh mencintainya. Istriku menangis lagi. Bagiku tangisannya sekarang tidak berarti apa-apa lagi. Keinginanku untuk bercerai telah bulat.

Hari berikutnya, ketika aku kembali ke rumah sedikit larut, kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur karena ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu dengan Jane. Ketika terbangun, kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.

Pagi harinya, dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku. Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum perceraian. Dia memintaku dalam sebulan itu, kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya sangat sederhana. Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami. Selain itu, dia juga meminta agar aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka depan pintu setiap pagi.

Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah demi perceraian yang kuinginkan, aku pun menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Aku menceritakan kepada Jane tentang hal itu. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan,” kata Jane.

Ada rasa kaku saat menggendongnya untuk pertama kali, karena kami memang tak pernah lagi melakukan hubungan suami istri belakangan ini. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan di belakang kami. “Wow, papa sedang menggendong mama.” Sambil memelukku dengan erat, istriku berkata, “Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya, sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.

Pada hari kedua, kami berdua melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuhnya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda seperti dulu lagi, ada bintik-bintik kecil di wajahnya, rambutnya pun sudah mulai beruban. Namun entah kenapa, hal itu membuatku mengingat bagaimana pernikahan kami dulu.

Pada hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku mulai merasakan kedekatan. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tentu tidak mengatakan perasaan ini kepada Jane.

Suatu hari, aku memperhatikan dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Dia sedikit mengeluh, “Semua pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang.” Aku mulai menyadari bahwa dia semakin kurus dan itulah sebabnya kenapa aku dapat dengan mudah menggendongnya. Aku menyadari bahwa dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.

Tiba-tiba putra kami muncul dan berkata,” Papa, sekarang saatnya untuk menggendong dan membawa mama.” Bagi putraku, melihatku menggendong dan membawa mamanya menjadi peristiwa yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku dari peristiwa yang bisa mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai.

Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami istri yang harmonis. Aku pun memeluk erat tubuhnya, seperti momen hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu. Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih.

Pada hari terakhir, aku menggendongnya dengan kedua lenganku. Aku susah bergerak meski cuma selangkah ke depan. Putra kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata, “Aku tidak pernah memperhatikan selama ini hidup pernikahan kita telah kehilangan keintiman satu dengan yang lain.”

Aku mengendarai sendiri kendaraan ke kantorku, mampir ke tempat Jane. Melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Begitu cepatnya karena aku takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku langsung berkata padanya. “Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku.”

Jane memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya. Aku mengelak dan berkata, “Maaf Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memaknai setiap momen kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari sejak aku menggendongnya sebagai syaratnya itu, aku ingin terus menggendongnya sampai hari kematian kami.”

Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah toko bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”

Petang hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah senyum menghias wajahku. Aku berlari hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami. Tapi apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama 10 tahun pernikahan kami.

Aku baru tahu kalau istriku selama ini berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun begitu, dia ingin menyelamatkanku dari pandangan negatif yang mungkin lahir dari putra kami karena aku menginginkan perceraian, karena reaksi kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun yang mempertahankan pernikahan kami dan demi putra kami.

Betapa berharganya sebuah pernikahan saat kita bisa melihat atau mengingat apa yang membuatnya berharga. Ingat ketika dulu perjuangan yang harus dilakukan, ingat tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi di antara kalian, ingat juga tentang janji pernikahan yang telah dikatakan. Semuanya itu harusnya hanya berakhir saat maut memisahkan.

——————

Sekecil apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan kita. Itu bukan tergantung pada uang di bank, mobil atau kekayaan apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan kebahagiaan itu dari diri mereka sendiri. Suami-istrilah yang harus saling memberi demi kebahagiaan itu.

Karena itu, selalu dan selamanya jadilah teman bagi pasanganmu dan buatlah hal-hal yang kecil untuknya yang dapat membangun dan memperkuat hubungan dan keakraban di dalam hidup perkawinanmu. Milikilah sebuah perkawinan yang bahagia. Kamu pasti bisa mendapatkannya....Gbu

Waktu

Jgn pernah menunda waktu..
Sebuah cerita yg bisa dipetik pelajarannya....

Pada suatu tempat, hiduplah seorang anak. Dia hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia tidak pernah mensyukuri betapa baiknya kehidupan yang dia miliki. Dia terus bermain, menggangu sanak keluarganya kalau mereka tidak mau bermain apa yang dia ingin mainkan. Tetapi, ketika dia mau minta maaf, dia selalu berkata, “Tidak apa-apa, besok kan bisa.”

Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia nggak pernah mensyukurinya. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya. Suatu hari, dia berkelahari dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya “Tidak apa-apa, besok kan bisa.”

Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya hampir melakukan segala sesuatu bersama-sama, makan, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.

Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia ketemu seorang cewek yang sangat cantik dan baik dan segera dia menjadi pacarnya. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Tentu, dia rindu sama teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka lagi, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, “Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka.” Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja selalu mau diajak keluar. Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.

Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dalam membahagiakan keluarganya. Dia tidak sempat lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan bahkan hari pernikahan mereka. Tapi, itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.

Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya “Aku cinta kamu”, tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasan dia “Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya.” Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan berpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya. Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan. Dia ditabrak lari. Tapi hari itu, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata “Aku cinta kamu”, istrinya meninggal.

Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba mencari menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya. Tapi, dia baru sadar anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya. Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli sama orang tua ini yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.

Dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik dengan uang yang dia simpan untuk perayaan pernikahan ke 50, 60, dan 70 dia dan istrinya. Semua uang itu sebenarnya untuk dipakai pergi ke Hawaii, New Zealand, dan negara-negara lain, tapi kini dipakai untuk membayar biaya tinggal dia di rumah jompo tersebut.

Sejak itu sampai dia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata padanya, “Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu….” Dan dia meninggal dengan airmata di pipinya.

_________________________________________________

Pesan moral kisah ini sederhana, jangan hobi menunda untuk melakukan sesuatu. Waktu terus berjalan maju, kadang kita baru tersadar ternyata banyak hal penting yang belum kita kerjakan.

Memang ada istilah “masih ada hari esok”, tapi kalimat itu untuk memotivasi bahwa ada masa depan yang jauh lebih baik daripada hari ini, bukan untuk membenarkan tindakan mengolor waktu.  Tapi untuk bagian “hari ini” bagaimana pun kan tetap harus dikerjakan !

Kisah seorang penari

Kisah seorang gadis penari...

Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol dibanding dengan rekan-2nya, sehingga dia seringkali menjadi juara di berbagai perlombaan yang diadakan. Dia berpikir, dengan apa yang dimilikinya saat ini, suatu saat apabila dewasa nanti dia ingin menja di penari kelas dunia. Dia membayangkan dirinya menari di Rusia, Cina, Amerika, Jepang, serta ditonton oleh ribuan orang yang memberi tepukan kepadanya.

Suatu hari, dikotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat,dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut, bahkan jika mungkin memperoleh kesempatan menjadi muridnya. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung, seusai sebuah pagelaran tari.

Si gadis muda bertanya ‘Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari ? Saya ingin tahu pendapat anda tentang tarian saya’.

‘Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit’,jawab sang pakar.

Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya, lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar.Si gadis langsung berlari keluar. Pulang kerumah, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil sepatu tarinya, dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan menari lagi.

Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Dan untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah toko di sudut jalan. Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu. Nampak sang pakar berada di antara para menari muda di belakang panggung. Sang pakar nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab.

Si ibu bertanya, ‘Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu, sehingga anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah katapun?’

‘Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-2 berhenti dari dunia tari’, jawab sang pakar.

Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar. ‘Ini tidak adil’, seru si ibu muda. ‘Sikap anda telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!’

Si pakar menjawab lagi dengan tenang ‘Tidak …. Tidak, saya rasa saya telah berbuat dengan benar. Anda tidak harus minum anggur satu barel untuk membuktikan anggur itu enak. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton anda 10 menit untuk membuktikan tarian anda bagus. Malam itu saya juga sangat lelah setelah pertunjukkan. Maka sejenak saya tinggalkan anda, untuk mengambil kartu nama saya, dan berharap anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi anda sudah pergi ketika saya keluar.

Dan satu hal yang perlu anda camkan, bahwa anda mestinya fokus pada impian anda, bukan pada ucapan atau tindakan saya. Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. Pujian itu seperti pedang bermata dua. ada kalanya memotivasimu, bisa pula melemahkanmu. Dan faktanya saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang diberikan pada saat seseorang sedang bertumbuh, hanya akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya berhenti. saya justru lebih suka mengacuhkanmu, agar hal itu bisa melecutmu bertumbuh lebih cepat lagi. Lagipula, pujian itu sepantasnya datang dari keinginan saya sendiri. Tidak pantas anda meminta pujian dari orang lain’.

‘Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. Seandainya anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini anda sudah menjadi penari kelas dunia.

MUNGKIN ANDA SAKIT HATI PADA WAKTU ITU, TAPI SAKIT HATI ANDA AKAN CEPAT HILANG BEGITU ANDA BERLATIH KEMBALI. TAPI SAKIT HATI KARENA PENYESALAN ANDA HARI INI TIDAK AKAN PERNAH BISA HILANG SELAMA- LAMANYA …’ (anonim).

________________________________________________

Inilah bahayanya bermain dengan persepsi sendiri. Kita sering mempertahankan pemahaman kita sendiri, tanpa mau terbuka dan mendengar terlebih dulu terhadap hal-hal yang lain di luar kita. Ujung-ujungnya kita menjadi manusia yang kaku, egois dan sukar mengalami kemajuan.

Dalam hidup ini kita harus bisa terbuka dan menerima apa yg ada di sekitar kita, dan pandanglah segala sesuatunya secara positif. Apalagi jangan sampai terjadi di kisah ini, main persepsi sendiri sampai akhirnya menjadi sakit hati...

Mama jangan marah

Kisah yg mengharukan dan menjadi pembelajaran bagi setiap kita....

Cerita ini sangat menyedihkan tapi baik utk direnungkan
================

MAMA...
JANGAN MARAH

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh.

Sam, suamiku, memberinya nama Eric.
Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang.

Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan.

Namun Sam mencegah niat buruk itu.
Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.
Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil.
Saya menamainya Angelica.
Saya sangat menyayangi Angelica,
demikian juga Sam.

Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric.
Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut.
Sam berniat membelikannya,
namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga.
Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica
2 tahun Sam meninggal dunia.
Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk.

Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup.

Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica.

Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja.

Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang.

Setahun, 2 tahun,
5 tahun, 10 tahun..
telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima.

Berkat Brad,
sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois,
dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.

Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan.

Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam.
Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak.
Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya.
Sambil tersenyum ia berkata,
“Tante, Tante kenal mama saya?
Saya lindu cekali pada Mommy!”
Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi,
namun saya menahannya,
“Tunggu…,
sepertinya saya mengenalmu.

Siapa namamu anak manis?”
“Nama saya Elic, Tante.”
“Eric? Eric…
Ya Tuhan!
Kau benar-benar Eric?”

Saya langsung tersentak dan bangun.
Rasa bersalah,
sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga.

Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya.

Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.

Rasanya seperti mau mati saja saat itu.
Ya, saya harus mati…, mati…, mati…
Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan,
tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya.
Ya Eric,
Mommy akan menjemputmu Eric…

Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk,
dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping.

“Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Oh, Brad,
kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu”.
Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak. ..

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya.
Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian.
Setelah tangis saya reda,
saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.

Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya.

Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric…

Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu.

Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu.

Gelap sekali…
Tidak terlihat sesuatu apa pun!
Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.

Namun saya tidak menemukan siapapun juga
di dalamnya.
Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah.

Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama…

Mata mulai berkaca-kaca,
saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. ..

Beberapa saat kemudian,
dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu…
Air mata saya mengalir dengan deras.

Saat itu saya hanya diam saja.
Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut.

Namun,
saya melihat seseorang
di belakang mobil kami.

Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali.
Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.

Ternyata ia seorang wanita tua.
Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

“Heii…!
Siapa kamu?!
Mau apa kau kemari?!”

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya,
“Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?” Ia menjawab,
“Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk!
Tahukah kamu,
10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya
di sini,
Eric terus menunggu ibunya dan memanggil,
‘Mommy…, mommy!’

Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya.

Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah,
namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu!
Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini.
Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…?
Mommy marah sama Eric, ya?
Mom, biarlah Eric yang pergi saja,
tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric.
Bye, Mom…”

Saya menjerit histeris membaca surat itu.
“Bu, tolong katakan… katakan di mana ia sekarang?
Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu!
Tolong katakan..!!

Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang,
Eric telah meninggal dunia.
Ia meninggal
di belakang gubuk ini.
Tubuhnya sangat kurus,
ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk
ke dalamnya.
Ia takut apabila Mommy-nya datang,
Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada
di dalam sana …
Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini…
Meskipun hujan deras,
dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya
di sana .
Nyonya,dosa anda tidak terampuni!

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.......................
Sebuah kisah yg menyentuh setiap kita untuk menjadi pribadi yg benar.. manusia yg punya hati...