Sunday, April 9, 2017

Shamila

Dulu ada penglima pasukan di Rusia namanya Shamila. Karena pemerintahan kaisar waktu itu sangat otoriter maka dia bersama pasukannya lari ke padang gurun untuk melakukan konsolidasi melawan kaisar. Karena ada di padang gurun maka semua makanan harus dihemat supaya seluruh pasukan bisa bertahan hidup.

Suatu ketika ada laporan bahwa sekarung beras telah hilang. Shamila marah, ia memberi peringatan kepada seluruh pasukannya, “Siapa yang mencuri beras akan dihukum cambuk 50 kali”

Hari berikutnya ada sekarung beras lagi yang hilang. Shamila sangat marah kemudian dia memerintahkan pasukannya, “Siapapun yang mencurinya, tidak peduli pria atau wanita, muda atau tua harus dihukum cambuk 50 kali.” Shamila kemudian memerintahkan pasukan untuk mencari pencurinya.

Beberapa saat kemudian anak buahnya datang: “Panglima ada kabar baik, pencurinya sudah ketemu”. Shamila menjawab: “Bagus”

Anak buahnya menjawab lagi: “Tetapi ada berita buruknya, Panglima “. Shamilla menjawab lagi: “Apa itu ?”

Anak buahnya menjawab lagi, “Yang mencuri adalah ibu Panglima”.

Shamila terdiam, dia bingung, ibunya sudah lanjut usia, kalau diberi hukuman, jangankan 50 kali cambukan, 2 kali cambukan saja ibunya pasti meninggal. Tapi kalau tidak dihukum, ia tidak adil. Akhirnya Shamilla berkata: “Keputusan ditunda besok pagi”

Semalaman ia berpikir keras bagaimana mengambil keputusan. Seluruh pasukan juga bingung, ada yg tidak tega kalau ibunya dihukum, ada yang bersikeras yang bersalah harus dihukum.

Akhirnya pagi hari tiba. Seluruh anggota pasukan berkumpul. Semua mata menatap kepada Shamilla menanti keputusan yang akan diambil. Shamila maju dan berkata: “Seperti yang sudah ditetapkan yang mencuri beras harus dihukum cambuk 50 kali. Pasukan, bawa pencurinya ke depan”. Kemudian pencurinya yang juga ibunya dibawa ke depan.

Shamilla berkata, “Segera laksanakan hukum cambuk 50 kali”. Sesaat sebelum algojo menjalankan cambukan yang pertama, Shamilla berkata: “Stop”.

Kemudian dia berkata kepada ibunya, “Ibu, aku menyayangi ibu, tapi keadilan harus ditegakkan.Harus ada hukuman untuk suatu pelanggaran.”

Tiba tiba ia memeluk ibunya dan berkata: “Ibu, aku menyayangi ibu, aku yang akan menggantikan ibu menerima hukuman ini.Ibu jangan mencuri lagi ya”. Kemudian dia membawa ibunya ke pinggir.

Shamilla berkata kepada algojo: “Algojo cambuk aku 50 kali”. Kemudian Shamilla dihukum cambuk 50 kali. Dengan demikian Shamilla sebagai pemimpin mempunyai kasih dan sekaligus menjalankan keadilan.

Wednesday, April 5, 2017

Bombay kehidupan

Menjelang istirahat, sang pengajar mengajak mahasiswanya untuk melakukan suatu permainan. “Siapakah orang yang paling penting dalam kehidupan kalian ?” Pengajar pun meminta bantuan seorang mahasiswa maju ke depan kelas, dan mulai melakukan permainan itu.
“Silakan tulis 20 nama yang paling dekat dengan kehidupan Anda saat ini”
Mahasiswa perempuan itu pun menuliskan 20 nama di papan tulis. Ada nama tetangga, teman sekantor, saudara, orang-orang terkasih, teman sekampusnya dan lainnya. Kemudian pengajar itu menyilakan memilih, dengan mencoret satu nama yang dianggap tidak penting.
Lalu mahasiswi itu mencoret satu nama, tetangganya.
Selanjutnya pengajar itu menyilakan lagi mahasiswinya mencoret satu nama yang tersisa, dan mahasiswi itu pun melakukannya, sekarang ia mencoret nama teman sekampusnya. Begitu seterusnya.
Sampai pada akhirnya di papan tulis hanya tersisa 3 nama. Nama orang tuanya, nama suami serta nama anaknya.
Di dalam kelas tiba-tiba terasa begitu sunyi. Semua mahasiswa mengalihkan pandangan ke pengajar. Menebak-nebak apa yang selanjutnya akan dikatakan oleh pengajar itu. Ataukah, selesai sudah tak ada lagi yang harus di pilih.
Namun di keheningan kelas sang pengajar berkata: “Coret satu lagi!”
Dengan perlahan dan agak ragu siswi itu mengambil spidol dan mencoret satu nama. Nama orang tuanya.
“Silakan coret satu lagi!”
Tampak mahasiswi itu larut dalam permainan ini. Ia gelisah. Ia mengangkat spidolnya tinggi-tinggi dan mencoret nama yang teratas dia tulis sebelumnya. Nama anaknya. Seketika itu pun pecah isak tangis di kelas.
Setelah suasana sedikit tenang, pengajar itu lalu bertanya,
“Orang terkasih Anda bukan orang tua dan anak Anda? Orang tua yang melahirkan dan membesarkan Anda. Anda yang melahirkan anak. Sedang suami bisa dicari lagi. Mengapa Anda memilih sosok suami sebagai orang yang paling penting dan sulit dipisahkan?”
Semua mata tertuju pada mahasiswi yang masih berada di depan kelas. Menunggu apa yang hendak dikatakannya.
“Waktu akan berlalu, orang tua akan pergi meninggalkan saya. Anak pun demikian. Jika ia telah dewasa dan menikah, ia akan meninggalkan saya juga. Yang benar-benar bisa menemani saya dalam hidup ini hanyalah suami saya.”
__________________________________
Kehidupan itu bagaikan bawang bombay. Ketika di kupas selapis demi selapis, akan habis. Dan adakalanya kita dibuat menangis.

Sunday, April 2, 2017

Malaikat kecil

Di suatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik. Seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip di sela-sela kepadatan kendaraan di sebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta.

Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda. Sambil membagikan bungkusan tersebut, ia menyapa akrab setiap orang. Dari tukang koran, penyapu jalan, tuna wisma, sampai pak Polisi.

Pemandangan itu membuatku tertarik. Pikiranku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya. Apakah dia berjualan? Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??

Untuk membunuh rasa penasaranku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai di seberang jalan, setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.

“Dek, boleh kakak bertanya?”

“Silahkan Kak”

“Kalau boleh tahu yang barusan adik bagikan ke tukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak Polisi, itu apa?”

“Oh itu bungkusan nasi dan sedikit lauk Kak. Memang kenapa Kak ?” Dengan sedikit heran, sambil ia balik bertanya.

“Oh…tidak. Kakak cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu. Kelihatan kamu sudah lama kenal dengan mereka?”

Lalu, adik kecil itu mulai bercerita,

“Dulu! Aku dan ibuku sama seperti mereka, hanya seorang tuna wisma. Setiap hari bekerja hanya mengharapkan belas kasihan banyak orang. Dan seperti Kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan. Waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan. Apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat-sangat sedih. Namun setelah ibuku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik.

Maka dari itu, Ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu. Jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka?

Yang ibuku selalu katakan, hidup harus berarti buat banyak orang. Karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa. Hanya satu yang kita bawa yaitu kasih kepada sesama serta amal dan perbuatan baik kita. Kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, kenapa kita harus tunda ?

Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat. Hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta terus apa yang kita bawa?”.

Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hati. Saat itu juga aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini. Aku malu dan sangat malu.

Ya Tuhan, ampuni aku. Ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepadaMu. Hanya kasih yang sempurna serta iman dan pengaharapan kepada-Mulah yang dapat mengiringku masuk ke Surga. Terima kasih adik kecil ! Kamu adalah malaikatku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyakku.

Author: Unknown

______________________________

Selagi masih ada kesempatan buat kita mendemonstrasikan kekuatan kasih Tuhan kepada sesama di sekitar kita, mengapa kita harus menundanya?